Minggu, 05 Juni 2011

1 Juni 2011, aku mengikuti seminar di Univ. Muria Kudus bertemakan :" Revitalisasi nilai- nilai Pancasila dalam rangka menyelamatkan generasi bangsa" Ada 4 narasumber yang presntasi saat itu yaitu : Kapolda Jateng Irjen Pol. E. Aritonang, Moh. Yulianto dari Undip, seorang dosen IAIN Walisongo Semarang dan Ketua ESQ Kar. Pati.
Kapolda sebagai pemapar pertama menyampaikan bahwa bangsa Indonesia saat ini menmghadapi tantangan yang berat. Kemajemukan bangsa yang terrekat dalam negara kesatuan RI mendapatkan berkali kali ujian antara lain adalah keinginan sekelompok orang yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Mereka merekrut kaum muda untuk dibrain washing agar berani melakukan kegiatan- kegiatan teror. Beliau memberikan contoh siswa SMK yang sedang perpraktek Industri di suatu daerah yang memang sering dicurigai sebagai sarang teroris, mereka mendapatkan pelatihan cara membuat bom. Yang menarik adalah pembicara dari IAIAN Walosongo, dengan gaya bicaranya yang sederhana dan lancar, dia menyampaikan paparannya bahwa generasi muda kita saat ini tengah menghadapi berbagai tekanan.
  • Yang pertama adalah teknan perasaan tidak pastinya masa depan mereka। Mereka tidak yakin setelah lulus nanti akan memperoleh pekerjaan atau tidak.
  • Yang kedua tekanan seksual. Pola makan dan pengaruh media mempercepat kematangan fisik anak muda. Umur 9 tahun telah mengalami kedewasaan. Kalau jaman dulu umur 12 tahun yang orang tua siap menikahkan anak- anaknya karena memiliki harta benda yang cukup untuk bekal rumah tangga mereka. Sehingga anak - anak muda ini tidak terlalu lama untuk menahan dorongan libidonya, hanya 3 tahun. Sementara saat ini kalau belum mempunyai pekerjaan, tidak berani kawin. Lulus SLTA, umur 18 tahun belum pasti dapat pekerjaan, karena persaingan yang banyak. Terlebih kini makin banyak lulusan sarjana. Peluang kerja semakin banyak yang diisi dari lulusan S1. Itupun belum ada jaminan lulus jaminan dapat pekerjaan. Akibatnya anak yang sudah secara seksual dewasa tadi yaitu umur 9, harus menahan sahwatnya paling cepat hingga umur 22 tahun atau setelah lulus kuliah. Artinya pula mereka harus menahan penyaluran dorongan kelaminnya minimal selama 13 tahun. Konsekuensinya adalah banyak terjadi penyimpangan dalam hubungan lawan jenis (sex before mariage).
  • Konsekuensi lain dari dorongan sexual ini, ketika ada kesempatan untuk meluapkan emosi lewat kata- kata, mereka dengan lantang menggunakan kesempatan tsb seperti dalam demo. Anak- anak muda ini meluapkan emosi dengan menjelek- jelekkan pemerintah atau institusi/ pejabat tertentu saat unjuk rasa.

M. Yulianto dalam paparannya menyatakan bahwa negara ini mengalami krisis ketauladan, kebohongan publik menjadi hal yang sering kali terjadi, sebuah kasus dialihkan dengan kasus lain sementara kasus yang pertama tidak jelas penyelesaian hukumnya. Pemerintah tidak memiliki kekuatan / loyo dalam mengatur jalannya pemerintah karena pemerintah dibangun dalam bentuk koalisi yang sangat - sangat rapuh, masing- masing partai hanya mengedepankan kepentingan partainya. Kalau pada jaman Soeharto masyarakat tahu pasti siapa yang harus dilawan, sehingga dengan mudah menggalang masa untuk demo, sementara saat ini sulit siapa melawan siapa. Menyikapi kondisi pemerintahan yang seperti ini hanya lewat diri kita bisa merubah bangsa, tidak mungkin petinggi bangsa ini akan mereformasi diri, untuk merubah kondisi ini alternatifnya :
  1. Dengan memilih calon yang memiliki integritas tinggi, tanpa money politik, akan dapat dipilh pemimpin yang baik.
  2. Revolusi. Namun opsi ini akan memakan cost yang besar dan pihak yang diuntungkan adalah militer yang memiliki alat perang yang lengkap.
Dari paparan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan :
  1. Pentingnya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara alat perekat dan pemersatu bangsa.
  2. Memilih pemimpin yang kredibel dan kapabel untuk siklus kepemimpinan 5 tahun.
  3. Ketauladan berasal dari diri sendiri meluas keorang terdekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar